BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al
– Ahkam
1.
Pengertian
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan
hukum sebagai berikut :
“Kalam Allah yang menyangkut
perbuatan orang dewasa dan berakal sehat,baik bersifat imperative,fakultatif
atau menempatkan sesuatu sebagai sebab,syarat dan penghalang “
Yang dimaksud khitab Allah yakni
semua bentuk dalil. Dan yang dimaksud mukallaf adalah perbuatan manusia yang
berakal sehat meliputi perbuatan hati,ucapan dan perbuatan.
2.
Pembagian
Hukum
Hukum menurut ushul di bagi
menjadi dua :
a.
Hukum
Taklifi
Adalah firman Allah yang menuntut
manusia untuk memilih anatara melakukan atau meninggalkan.
·
Contoh
firman Allah yang bersifat menuntut melakukan perbuatan
“ Dan dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat, dan ta`atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
·
Contoh
Firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan
“Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui”.
·
Contoh
Firman Allah yang bersifat memilih
Dalam ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 187 yang artinya :
“...dan makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...”
Bentuk Taklifi ada dua pendapat
pertama menurut jamhur ulama Ushul fiqih / Mutakallimin:
i.
Ijab
( Wajib )
ii.
Nadb
( Sunah )
iii.
Tahrim
( Haram )
iv.
Karahah
(Makruh )
v.
Ibahah
(Mubah)
Kedua hukum Taklifi menurut ulama
Hanafiyah :
i.
Iftiradh
( Wajib)
Yaitu tuntutan Allah kapada
mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang qoth’i.
ii.
Ijab
( Wajib )
Yaitu tuntutan Allah kapada
mukallaf yang bersifat memaksa dengan berdasarkan dalil yang dzanni ( relative
benar )
iii.
Nadb(
Sunah )
iv.
Ibahah
( Mubah )
v.
Karahah
Tanzihiyyah
Yaitu tuntutan Allah kapada
mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan,tetapi tuntutannya tidak bersifat
memaksa.
vi.
Karahah
Tahrimiyyah
Yaitu tuntutan Allah kapada
mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara memaksa, tetapi
didasarkan pada dalil yang zhanni.Sama saja seperti haram dalam menurut ushul
fiqh.
vii.
Tahrim
Yaitu tuntutan Allah kapada
mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan pada dalil yang
qath’i.
b.
Hukum
wad’i
Ada 3 bentuk hukum :
·
Sebab
·
Syarat
·
Penghalang
Hukum menurut Fuqohah :
i.
Wajib
Dilihat dari waktu :
·
Wajib
Al – Muthlak ( tanpa ditentukan waktu )
Contoh : membayar kafarat
·
Wajib
Al – Mu’aqqat (pada waktu – waktu tertentu )
·
Wajib
Muwassa’ ( yang mempunyai batas waktu lapang )
Contoh : Sholat wajib bias di
seling dengan sholat sunah.
·
Wajib
Mudhayyaq ( yang mempunyai batas waktu yang sempit )
Contoh :Puasa Ramadhan tidak bias
diselingi dengan puasa sunah.
·
Wajib
Dzu Asy – Syibhain ( waktu yang lapang,tetapi tidak bias melaksanakan amal yang
sejenis )
Contoh : pada ibadah haji
Dilihat dari segi ukuran :
·
Wajib
Al – Muhaddad ( sudah diukur menurut syara’)
Contoh : sholat wajib dan zakat
·
Wajib
Ghairu Al – Muhaddad ( ditentukan oleh ulama )
Contoh : hukuman di luar qisas
dan hudud.
Dilihat dari segi orang yang dibebani
:
·
Wajib
Al – ‘Aini ( pribadi )
Contoh : sholat
·
Wajib
Al – Kifa’I ( hanya sebagian )
Contoh : sholat jenazah
ii.
Mandub
( Sunah )
Menurut ushul fiqh ada tiga jenis
:
·
Sunnah
al – mu’akkadah ( sangat dianjurkan )
Contoh : sholat sunah lima waktu
·
Sunah
ghairu al – mu’akkadah ( biasa )
Contoh :sedekah
·
Sunah
al – Za’idah ( tambahan )
Contoh : cara tidur,pakaian,makan
dan sebagainya.
iii.
Haram
·
Haram
li dzatihi ( langsung menurut syar’i )
Contoh : judi,minuman keras,memakan
bangkai dan sebagainya
·
Haram
li ghairih (sesuai syar’i tetapi di ikuti dengan madharat )
Contoh : sholat dengan pakaian hasil
mencuri
iv.
Makruh
Menurut ulama Hanafiyah dibagi
menjadi dua yakni :
·
Makruh
tanzih
Sesuatu yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan
yang tidak pasti
·
Makruh
tahrim
Sesuatu yang dituntut syar’i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan
yang pasti, tetapi didasarkan kepada
dalil yang zhanni.
v.
Mubah
B.
Mahkum
Bih / Mahkum Fih( Pembuat Hukum )
Yang dimaksud dengan objek hukum
atau mahkum bih ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum
untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulama ushul fiqih, yang dimaksud
mahkum bih atau objek hukum yaitu sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.
Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan
dan bukan pada zat. Contohnya ”daging babi”.
Para ahli Ushul fiqih menetapkan
beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum,yaitu:
1.
Perbuatan
itu sah dan jelas adanya;
2.
Perbuatan
itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta
dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
3.
Perbuatan
itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam keampuannya
untuk melakukannya
Persyaratan ketiga yaitu bahwa
perbuatan itu berada dalam batas kemampuan mukallafmenjadi pokok pembicaraan
ahli Ushul Fiqih dalam hal objek hukum. Mereka sepakat dalam hal tidak
dituntutnya seorang mukallaf melakukan sesuatu perbuatan kecuali terhadap perbuatan
yang ia mampu melaksanakannya. Seorang hamba tidak akan dituntut melakukan
sesuatu yang ia tidak mungkin melakukannya. Yang menjadi dasar ketentuan ini adalah
firman Allah,
“Allah tidak membebani seseorang
kecuali semampunya.”
Dengan penjelasan ayat tersebut
dapat dipahami bahwa Tuhan tidak menginginkan manusia dalam kesulitan.
Selanjutnya menjadi pembahasan pula “kesulitan”atau masyaqqah dalam hubungannya
dengan objek hukum.
Dalam hal ini ulama membagi
kesulitan atau masyaqqah itu pada dua tingkatan;
1.
Masyaqqah
yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya. Contoh;puasa dan
ibadah haji.
2.
Masyaqqah
yang tidak mungkin seseorang melakukannya sacara berketerusan atau tidak
mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga yang maksimal. Pemaksaan
diri dalam melakukannya akan membawa kerusakan terhadap jiwa atau harta.
Contoh: berperang dalam jihad di jalan Allah
3.
Sehubungan
dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang jelas kebradaannya,
para ulama Ushul memperbincangkan kemungkinan berlakunya taklif terhadap
sesuatu yang mustahil adanya.Dalam hal ini ulama ushul membagi mustahil pada
lima tingkatan:
a.
Mustahil
adanya menurut zat perbuataan itu sendiri,seperti menghimpun dua hal yang
berlawanan.
b.
Mustahil
menurut adat, yaitu sesuatu yang tidak mungkin dilakukan menurut
biasanya,seperti menyuruh anak kecil mengangkat batu besar.
c.
Mustahil
karena adanya halangan berbuat, yaitu suatu perbuatan pada dasarnya dapat
dilakukan, tetapi oleh karena suatu sebab yang dating kemudian,perbuatan itu
tidak dapat dilakukan.Umpamanya menyuruh orang yang diikat kakinya untuk
berlari.
d.
Mustahil
karena tidak mampunya berbuat saat berlakunya taklif meskipun saat malaksanakan
ada kemungkinan berbuat seperti taklif pada umumnya.
e.
Mustahil
karena menyangkut ilmu Allah seperti keharusan beriman bagi seseorang yang
jelas kafirnya.
Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa tidak mungkin berlaku taklif pada yang mustahil. Alasan mereka adalah isyarat
allah dalam Al-Qur’an:
“Allah tidak menjadikan untukmu
kesulitan dalam agama”.
Perbuatan yang berlaku pada
taklif ditinjau dari segi hubungannya dengan Allah dan dengan hamba terbagi
empat:
1.
Perbuatan
yang merupakan hak Allah secara murni,dalam arti tidak ada sedikitpun hak
manusia.
2.
Perbuatan
yang merupakan hak hamba secara murni,yaitu tindakan yang merupakan pembelaan
terhadap kepentingan peribadi.
3.
Perbuatan
yang di dalamnya bergabung hak allah dan hak hamba,tetapi hak Allah lebih
domonan
4.
Perbuatan
yang di dalamnya bergabung padanya hak allah dan hak hamba,tetapi hak hamba
lebih dominan
Selanjutnya, setiap perbuatan
sebagai objek hukum selalu terkait dengan pelaku perbuatan yang dibebani taklif
itu.
Dapat tidaknya taklif itu
dilakukan orang lain berhubungan erat dengan kaitan taklif dengan hukum.Dalam
hal ini objek hukum terbagi tiga:
1.
Objek
hukum yang pelaksanannya mengenai diri pribadi yang dikenai taklif, umpamanya
shalat dan puasa.
2.
Objek
hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku taklif, umpamanya
kewajiban zakat.
3.
Objek
hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi dan harta diri pelaku taklif,
umpamanya kewajiban haji.
Setiap taklif yang berkaitan
dengan harta benda, pelaksanaannya dapat digantikan oleh orang lain. Dengan
demikian pembayaran zakat dapat dilakukan orang lain. Setiap taklif yang
berkaitan dengan diri pribadi, harus dilakukan sendiri oleh yang dikenai taklif
dan tidak dapat digantikan orang lain. Setiap taklif yang berkaitan dengan
pribadi dan harta yang dikenai taklif dapat digantikan orang lain pada saat
tidak mampu melaksanakannya. Beberapa kewajiban haji dapat diwakilkan kepada
orang lain dalam keadaan tidak mampu
C.
Al-Hakim
( Pembuat Hukum )
Definisi hukum syar’I adalah
“Titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf dalam bentuk
tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan”.
Dalam definisi ini dapat dipahami
bahwa “Pembuat Hukum” dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan
manusia di atas bumi ini dan Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi
kehidupan manusia, baik dengan hubungnnya dengan kepentingan hidup dunia maupun
untuk kepentingan hidup diakhrat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia
dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitar.
Dari uraian di atas dapat pula
dipahami bahwa Pembuat Hukum satu satunya bagi umat islam adalah Allah. Hal ini
manifestasi dari iman kepada Allah ,sebagaimana dditegaskan firman Allah dalam
surat Al-An’am (6):57, Yusuf (12), 40 dan 67.
“Sesungguhnya tidak ada hukum
kecuali bagi Allah”.
Untuk membawa dan menyampaikan
hukum atau syariat kepada manusia. Hakim : yaitu Allah menciptakan
utusan-utusan yang disebut dengan Rasulullah. Sebelum Allah mengutus para
Rasul, tidak ada syariat yang berlaku. Dalam hal ini Hanafi mengutamakan dua
pendapat;
1.
Pendapat
yang dikemukakan oleh kaum Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abdul Hasan
Al-asy’ari, yang berpendapat bahwa hukum-hukum Allah tidak dapat diketahui oleh
akal semata-mata. Oleh kerena itu, seluruh bentuk perbuatan menusia yang
terjadi sebelum diangkat utusan-utusan Allah, tidak ada hukumnya atau tidak ada
sanki bagi pelaku perbuatan tersebut, sebagaimana kufur tidak haram dan iman
tidak diwajibkan
2.
Pendapat
dari kaum Mu’tazilah, yang dipelopori oleh Wasil bin Atha, berpendapat bahwa
hukum dan syariat Allah sebelum dibangkitkan utusan-utusan Allah dapat
diketahui oleh akal. Akal dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan
kerena sifat-sifatnya.
3.
Kelompok
Maturidiyah berpendapat bahwa pada suatu perbuatan dengan semata melihat pada
materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk.karena itu akal dapat
menetapkan suatu perbuatan itu baik atau buruk. Dalam hal ini kelompok
Maturidiyah sependapat debgan kaum Mu’tazilah.
BAB III
PENUTUP
Akhirnya kami sebagai penyusun
mengharapkan dengan adanya makalah ini kita semua akan lebih mempelajari lagi
dan mendalami tentang hukum-hukum terutama kajian yang terkandung dalam ajaran
agama islam. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikianlah makalah yang kami
buat harap menjadi maklum adanya, bila memiliki banyak kekurangan, itu
dikarenakan terbatasnya pengetahuan dari penyusun. Semoga makalah ini bisa
menambah ilmu pengetahuan kita. Aamiin…
Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. Syafe’i Rachmat ,M . A.,Ilmu Ushul Fiqih. Bandung:
CV.PUSTAKA SETIA, 1999
Hamid Shalahudin.Study Ushul
Fiqh. Jakarta: Intimedia.2002
Djalal Abdul.. Ushul Fiqih
As-Shabuni Ali Muhammad. Ushul
Fiqih Praktis. Jakarta: Pustaka Amani.2001